Terima kasih sudah mengantar
Hilyah melirik jam yang dipakai di pergelangan tangan
kirinya. Matanya seketika membulat melihat deretan angka yang bermunculan di
layar jam digitalnya. “18.30” lirih hilyah sambil menghela nafas. Tali
sepatu Hilyah sudah membentuk pita yang
sempurna. Ia pun bergegas untuk segera pulang. Biasanya sebelum magrib dia
sudah duduk manis di kursi sambil menonton televisi. Berbeda dengan hari ini.
Dia baru saja keluar dari mushola setelah selesai mengerjakan shalat magrib di
sekolah karena baru saja menyelesaikan latihan dasar kepemipinan pengurus OSIS
baru.
“Yaaaayyy…Hilyaaah” suara Abdul terdengar
sangat jelas memanggil Hilyah.
“Ga usah teriak-teriak, jarak kita cuman 5
langkah tau” jawab Hilyah sambil teriak-teriak menghampiri Abdul.
“Sendirinya juga teriak. Ah udah ah. Maaf
ya ibu bendahara OSIS” ucap Abdul sambil tersenyum.
“Kamu teriak-teriak histeris manggil aku
mau apa, my fans?” Tanya Hilyah pada ketua OSIS yang baru terpilih itu.
“Tambahin 1000 dong” Abdul tersenyum sangat
manis untuk mendapatkan uang 1000. Sudah tak aneh lagi bagi Abdul untuk
bersikap seperti itu pada Hilyah. Mereka sudah
hampir dua tahun sekelas dan lumayan akrab
“Iiiiiiiihhhh, ga mau ah” Hilyah
memanyunkan bibirnya.
“Ga usah manyun-manyun gitu deh. 1000 doang
yay. Ya ya ya?” Abdul kembali membujuk Hilyah.
“Ga ada 1000, pak ketua OSIS. Adanya 5000.
Aku mah gitu orang nya baik banget” Hilyah menyodorkan uang kertas senilai
5000. Ah, entahlah Hilyah selalu iba pada abdul. Ia tak akan tega menelantarkan
Abdul yang jajan donat, dengan uangnya
yang kurang 1000. Selalu saja begitu.
Abdul pun kegirangangan menerima uang tersebut, dan langsung
memberikannya pada abang tukang donat. Dengan cekatan, abang tukang donat
tersebut memberikan kembaliannya sebesar 4000. Dengan cepat pula, Abdul
menyambar uang kembalian tersebut sambil tersenyum dan mengucapkan terima
kasih. Abang tukang donat tersenyum lebar. Entah karena dia kegirangan donatnya
di beli Abdul di waktu magrib seperti ini atau juga karena melihat kelakuan Abdul
yang tak karuan. Ah, entahlah. Abdul memang selalu bisa membuat orang tersenyum
dengan segala keanehan yang dimilikinya. Ya, dia Abdul sang ketua OSIS yang
baru terpilih
Sebelum uang 4000 itu melayang ke dompet Abdul, dengan cekatan tangan
Hilyah mengambil uang tersebut dari tangan Abdul. Kini, uang itu sudah beralih
tangan. Sebelum melihat wajah abdul yang telah berubah, Hilyah berlari membawa
uang tersebut sambil berteriak. “dadah abdul, aku pulang duluan. Udah telat
pulang ini. Nanti dimarahin ayah sama ibu”.
“Katanya kamu baik banget. Sampe-sampe
ngasih 5000, padahal aku cuman minta 1000. Ah, baik banget apanya? Uang 4000
nya diembat juga. Ah hilyaaah” teriak Abdul pada Hilyah yang sudah melangkah
menjauh dari padangan Abdul. Menyadari teriakannya yang tak digubris Hilyah,
Abdul pun bergegas pergi meninggalkan mushola sekolahnya, termasuk meninggalkan
tukang donat yang masih betah aja nongkrong di halaman mushola. Padahal
anak-anak sudah banyak yang pulang dari tadi. Mungkin abang tukang donat sedang
bernostalgia dengan masa-masa sekolahnya dengan menikmati suasana sekolah ini
di malam hari. Ah entahlah. Dengan rasa lelah yang ia rasakan setelah mengikuti
latihan dasar kepemimpinan yang diberikan kepada pengurus OSIS baru, Abdul
sudah ingin meninggalkan sekolah sedari acara pelatihan tersebut selesai.
Bahkan sebelum pelatihan selesai pun, ia mungkin telah meninggalkan sekolah
jika ia berhasil kabur dari acara tersebut. Tapi niat nya urung dengan melihat
Hilyah yang terus melototi dirinya. Walaupun ia tahu, seberapa kuat Hilyah
mencoba agar matanya terlihat besar, tetap saja, mata Hilyah yang berukuran
minimalis itu tak mungkin menjadi mata belo sebesar mata yang dimiliki para
karakter anime. Apalagi, jika Hilyah tersenyum dan tertawa, mata Hilyah cuman tingal
segaris. Ah, tetap saja ia akan menuruti kemauan Hilyah. Entahlah.
“Yaaay, tunggu.” Teriak Abdul sambil
berlari mengejar Hilyah
Hilyah menoleh dengan ekspresi yang
mneyiratkan pertanyaan “mau apa lagi sih Abdul? Udah dikasih uang 1000 juga.
Kurang? Ga akan aku kasih kali, ini buat ongkos pulang”
“Apa? Uang yang 4000 ga akan aku kasih.
Dari awal juga ga ada perjanjian kalau uang yang 5000 itu semuanya buat kamu.
Ga ada kan?” sewot Hilyah mendengar teriakan Abdul yang memanggilnya.
“Siapa juga yang mau mengungkit masalah
uang tadi” bela Abdul
“Terus mau apa?” Tanya Hilyah
Abdul menggaruk kepalanya yang tak gatal
sambil cengengesan tak jelas. Hilyah yang melihatnya tak berkata apa-apa. Hanya
aneh saja dengan sikap abdul.
“Udah malam, mau aku anterin pulang ga?”
kata abdul sambil tersenyum
“Engga ah” jawab Hilyah pendek
“Eh, udah malam lho ini. Kamu ga apa-apa
jalan sendirian?” Abdul tak menyerah akan tawarannya
“Engga ah, biasanya juga sendiri. Udah ah,
aku mau pulang” Hilyah menjawab seadanya
“Ya udah aku anterin ya? Mau pake motor
ga?” Tanya Abdul
“Engga ah” jawab Hilyah singkat.
“Ya udah yu, jalan aja. Aku anterin sampai
gerbang perumahan” jelas Abdul sambil melangkahkan kakinya.
Sejenak hilyah terdiam, mengerutkan dahinya. Ah sudahlah. Dia kembali
melangkahkan kakinya. Padahal Hilyah sudah jelas-jelas berkata tidak, tapi
tetap saja langkah abdul beriringan dengan langkah kaki Hilyah. Sekolah mereka
berdua memang terletak di pertengahan perumahan, dan tak ada alat transportasi
yang dapat diakses untuk menuju kesana. Alternatifnya adalah dengan berjalan
kaki atau menggunakan kendaraan pribadi. Dan hilyah memilih untuk berjalan kaki
dengan alasan untuk kesehatan. Padahal alasan sebenarnya, dia tak bisa menggunakan
kendaraan pribadi seperti sepeda atau motor. Berbeda dengan abdul yang sudah
lihai mengunakan sepeda motor, dan memutuskan untuk menggunakannya. Walaupun
tanpa berbekal SIM, Abdul tetap nekad menggunakannya.
Mereka sudah keluar dari gerbang sekolah, menuju gerbang perumahan.
“Abduuuul” teriak kak rasyid, anak kelas
12-4 yang bersahabat baik dengan Abdul entah sejak kapan
“Heeeyy bang” Abdul menyambut dengan
hangat.
Aku hanya
tersenyum pada kak Rasyid saat dia menyapaku. Tak hanya bertegur sapa,
mereka juga mengobrol entah tentang hal
apa. Aku tak mengerti. Aku bagaikan seonggok daging tak bernilai
diantara dua makhluk herbivor ini. Aku diabaikan. Mereka dengan asyiknya ngalor
ngidul mengobrolkan sesuatu. Dan akhirnya obrolan itu berakhir karena kak Rasyid harus menemui
temannya yang tinggal di sekitar perumahan dekat sekolah untuk mengerjakan
tugas kelompok. Hilyah dan Abdul kembali melangkahkan kaki. Hening sejenak
mewarnai langkah kaki mereka. Hingga akhirnya Hilyah mulai berbicara.
“Ko bisa sih, beli donat dengan uang yang
kurang 1000? Kenapa juga harus beli donat?” Tanya Hilyah sambil terus berjalan.
“Harus banget bahas ini? Aku tadi laper
banget yay. Kalau aku ga beli donat di si abang itu, entahlah. Mungkin, Kamu
akan menemukan badan ku tergeletak di halaman mushola” jawab abdul santai
“Jadi kamu kelaparan? Kasihan…” Hilyah
memperlihatkan ekspresi simpatinya.
“cieeee…. abdul sama siapa? Cieeee.. Oh
iniii toh” tiba-tiba terdengar suara dari arah depan mereka. Tiga orang perempuan yang tak lain adalah
teman sekelasnya kak Rasyid yang juga akrab dengan abdul. Ah, entahlah
sepopuler itukah Abdul. Anak kelas 12 saja mengenalnya. Ya, walaupun harus diakui,
Abdul memang lebih populer dibandingkan Hilyah. Jika kepopuleran Hilyah masih
di tingkat regional, maka kepopuleran Abdul sudah ada di tingkat nasional. Hilyah
dan Abdul mencoba untuk tetap mengendalikan diri. Mereka berusaha setenang
mungkin seteleh kata “cie” terucap dari mulut ketiga perempuan itu. Mereka
bersikap seolah tak mendengar kata cie itu. Hilyah yang tak mengenal ketiga
perempuan itu, hanya bisa tersenyum pada mereka dan berusaha bersikap biasa saja sebagai
tanggapan dari ucapan kakak kelasnya itu. Entahlah, yang ada di pikiran Hilyah
dan Abdul saat itu adalah bagaimana mengendalikan diri agar terlihat tenang.
Tak terpancing oleh kata “cie” yang diucapkan kakak kelas mereka. Jika saja
mereka terpancing oleh kata cie tersebut, dan mereka bersikap mengelak, itu
hanya akan membuat mereka terpojok dan mungkin juga akan berlanjut di sekolah
besok. Jadi, mereka memilih untuk bersikap seolah tak ada apa-apa.
“Eh, kak. Mau kemana? Nyusul bang Rasyid
ya?” Tanya abdul mencoba mengalihkan pembicaraan
“Iya nih, duluan yaa. Baik-baik yaa kalian”
Ketiga perempuan itu pergi dengan santainya
“Cie, cie.. Cie apanya?Apaan sih cie cie”
ucap Hilyah kesal dalam hati.
“Udah nyampe nih. Udah ya, sampai sini?Naik
angkot kan? Bisa nyebrang kan? Udah nyebrang sana” ucap Adul dengan ramah
“Iya, naik angkot. Kamu ga pulang? Kan
rumah kita searah?” Tanya hilyah kebingungan
“Pulanglah, kamu kira aku rela meninggalkan
kasur empuk di rumah dan tidur di sekolah? Engga kan? Aku balik dulu ke sekolah
ngambil motor. Kan tadi motornya ditinggal disana” jawab Abdul sambil melihat Hilyah
yang masih kebingungan.
Hilyah menggaruk kepalanya yang tak gatal,
tak berkata apa-apa. Ia masih mencerna kata-kata Abdul yang menyebutkan
motornya ditinggal di parkiran sekolah.
“Udah sana, cepet pulang. Hati-hati
nyebrangnya.” ucap abdul sambil meneggerakkan tangannya.
Hilyah pun menuruti perkataan abdul,
melangkahkan kaki melewati gerbang perumahan. Hilyah membalikkan badannya 180
derajat, dan Abdul masih ada di hadapannya. Abdul pun melambaikan tangannya
pada Hilyah. Hilyah membalas dengan melambaikan tangan sambil tersenyum pada
Abdul. Hilyah masih belum beranjak. Abdul membalikan badannya dan berlari menuju sekolah untuk mengambil motor di
parkiran. Hanya punggung abdul yang terlihat dan semakin lama semakin menghilang. Dan Hilyah
akhirnya sadar kalau Abdul selalu menggunakan motor ke sekolah, begitupun
dengan hari ini. Walaupun rumah mereka searah, tapi mereka tak pernah pergi
atau pulang sekolah bareng. Hilyah selalu memilih untuk naik angkot. sedangkan
abdul selalu memilih untuk menggunakan motornya. Dan abdul juga telah
menawarkan diri untuk mengantarkan dirinya dengan motor. Tapi Hilyah yang tak
mau, dan akhirnya mereka berjalan bersama sampai gerbang perumahan.
“Terima kasih sudah mengantarkan sampai
gerbang ini. Terima kasih Abdul.” ucap Hilyah dalam hati sambil tersenyum.